WEDA, TALENTANEWS.COM,- Sebuah video viral di media sosial kembali mengguncang kesadaran publik. Akun TikTok @anak_kolong51 mengunggah video berdurasi satu menit yang menyentil realitas ironi kekayaan sumber daya alam di Maluku Utara. Video itu diberi keterangan: “Paradoks tambang, siapa yang menikmati hasil kekayaan alam kita ya?”

Dalam video tersebut dipaparkan bahwa pendapatan Pemerintah Provinsi Maluku Utara pada tahun 2025 mencapai Rp3,4 triliun, namun hanya Rp861 miliar yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Artinya, sekitar 75 persen dana operasional masih mengandalkan transfer dari pemerintah pusat.

“Maluku Utara itu kaya tambang, tapi duit jajannya masih minta pusat,” bunyi narasi dalam video tersebut.

Dok : Ramdhani

Tak hanya itu, video tersebut juga mengkritisi alokasi belanja daerah. Dari total anggaran, Rp2,5 triliun habis untuk belanja pegawai dan operasional, sedangkan belanja modal untuk pembangunan hanya Rp500 miliar. Di saat yang sama, aktivitas tambang-khususnya nikel-terus berjalan, bahkan beberapa di antaranya dikelola oleh perusahaan asal Cina.

“Tambang jalan terus, tapi kontribusinya ke kas daerah ya segitu-gitu aja,” lanjut narasi tersebut.

Yang lebih memprihatinkan, disebutkan bahwa dari total pendapatan seluruh pemerintah daerah se-Maluku Utara yang mencapai Rp16 triliun, Rp13 triliun berasal dari pusat, dan hanya Rp2 triliun dari PAD.

Netizen pun ramai-ramai memberikan respons kritis. Akun @Olea14 menulis, “Apalagi gubernurnya titipan oligarki Jakarta.”

Sementara itu, akun @Amri Amri menyebut, “Jawa yang ngatur, makanya defisit. Kalau daerah sendiri yang atur, pasti lebih saling menguntungkan.”

Akun lain seperti @Malarabe menyebutkan, “Pemerintah pusat dan pemodal yang menikmati, rakyat Maluku Utara ditindas.”

Komentar serupa juga datang dari akun @Tuale Cino, “Tambang sampai masuk ke dapur warga, tapi warganya tambah miskin.”

Bahkan, akun @Revano Manuel mengingatkan, “Kita dicuri. Sadar tidak?”

Di tengah curahan hati netizen, muncul pula dorongan untuk mengkaji ulang tata kelola pendapatan daerah. “Mungkin saja tata kelola pendapatan perlu dilihat kembali, dari situ akan terlihat naik atau turun,” tulis akun @mAmaT ArU#_.

Paradoks ini menimbulkan pertanyaan serius: Siapa sebenarnya yang menikmati kekayaan alam Maluku Utara? Rakyat, elit lokal, pemodal asing, atau pemerintah pusat?

Ironi ini menjadi refleksi pahit di tengah gegap-gempita eksploitasi sumber daya alam. Ketika tanah dikeruk, hutan gundul, udara berdebu, dan rakyat tetap menunggu bantuan dari pusat-wajar jika publik mulai bertanya: “Untuk siapa sebenarnya tambang ini berjalan?”(red)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *