
WEDA, Talentanews.com.– Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) kembali menunjukkan ketegasan dalam menindak praktik pertambangan bermasalah. Setelah sebelumnya menyegel areal PT Weda Bay Nikel (WBN) seluas 148,25 hektare karena beroperasi tanpa izin sah, kini sorotan publik mengarah pada aktivitas PT Karya Wijaya (KW) di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (LHP-TT) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Nomor 13/LHP/05/2024 tertanggal 20 Mei 2024, terungkap sejumlah indikasi pelanggaran serius. PT KW dinilai membuka lahan konsesi dengan status IUP operasi produksi, namun tidak memenuhi syarat mendasar: tidak memiliki izin PPKH, tidak menempatkan jaminan reklamasi pasca-tambang, serta tidak mengantongi izin pembangunan jetty.
Ketua LSM Lembaga Pengawasan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LPP Tipikor) Halmahera Tengah, Fandi Risky Asyhari, menegaskan bahwa penertiban kawasan hutan harus memperkuat agenda Reforma Agraria, bukan memperuncing konflik lama di Maluku Utara. Menurutnya, sejarah panjang penyerobotan lahan pertanian dan tanah adat oleh perusahaan tambang telah meninggalkan luka sosial yang belum pernah tuntas.
“Jika penertiban dilakukan tanpa peta konflik yang jelas, kebijakan yang dimaksudkan untuk menegakkan hukum justru bisa memperparah ketidakadilan agraria,” tegas Fandi. Senin (15/9/2025).
Ia juga mengingatkan adanya praktik manipulasi yang kerap membayangi penertiban lahan. “Jangan sampai lahan yang disita dari perusahaan ilegal kemudian dialihkan ke perusahaan lain dengan mekanisme baru. Itu hanya akan memperlebar lingkaran konflik dan menggerus kepercayaan publik terhadap Satgas PKH maupun pemerintah,” ujarnya.
Fandi menyoroti persoalan klasik tumpang tindih tata ruang yang hingga kini belum terselesaikan. Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menunjukkan ribuan hektare lahan masyarakat adat di Maluku Utara belum mendapat pengakuan formal, sementara dalam dokumen negara masuk sebagai kawasan hutan. Kondisi ini, menurutnya, berpotensi besar memicu konflik baru ketika Satgas PKH turun melakukan penertiban.
Solusi yang adil, kata Fandi, hanya bisa dicapai melalui transparansi, pemetaan partisipatif, serta keterlibatan masyarakat adat dan petani dalam setiap proses. Tanpa itu, implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2025 bisa menjadi pisau bermata dua: memberantas perusahaan ilegal, namun sekaligus melukai rakyat kecil yang menjadi korban kebijakan.
Atas dasar itu, LPP Tipikor mendesak pemerintah pusat maupun daerah memastikan pelaksanaan Satgas PKH berjalan sejalan dengan prinsip Reforma Agraria, perlindungan lingkungan, dan penghormatan hak masyarakat adat.
“Jangan sampai niat menertibkan kawasan hutan justru berubah menjadi sumber konflik horizontal yang merusak tatanan sosial di Maluku Utara,” tandasnya.
Pewarta: Faisal Didi