WEDA, Talentanews.com –Laporan harta kekayaan anggota DPRD Halmahera Tengah yang tercatat di e-LHKPN KPK menghadirkan pemandangan yang kontras. Dari data 2023 hingga 2024, terlihat jelas perbedaan mencolok: ada yang hartanya melonjak tajam, ada yang nyaris tak bergerak, bahkan ada yang sama sekali tak tercatat dalam daftar resmi.

Nama Zulkifli Alting dari Partai Hanura menjadi sorotan utama. Pada 2023 ia melaporkan kekayaan sebesar Rp 5,24 miliar. Setahun berselang, jumlah itu mendadak melonjak hingga Rp 11,16 miliar. Lonjakan fantastis ini langsung menempatkannya di puncak daftar kenaikan kekayaan anggota dewan dua periode.

Sebaliknya, Sakir Ahmad dari Golkar justru nyaris stagnan. Dari Rp 6,83 miliar pada 2023, harta yang ia laporkan pada 2024 hanya naik tipis menjadi Rp 6,87 miliar. Kenaikan yang begitu kecil hingga lebih terasa sebagai “jalan di tempat”.

Kolega separtai Sakir, Aswar Salim, justru berbeda. Harta yang dilaporkan naik dari Rp 1,11 miliar (2023) menjadi Rp 1,89 miliar (2024). Lompatan lebih terasa juga ditunjukkan Munadi Kilkoda dari NasDem, dari Rp 876 juta (2023) menjadi Rp 1,43 miliar (2024). Dari PDI-P, Asrul Alting melaporkan kenaikan dari Rp 867 juta (2023) ke Rp 1,2 miliar (2024). Namun nama koleganya, Kabir Kahar, sama sekali tidak muncul di situs LHKPN, baik tahun 2023 maupun 2024. Apakah sekadar kelalaian administrasi atau bentuk lain dari kelalaian kewajiban, belum ada penjelasan resmi.

Di kalangan legislator baru, Putra Sian Arimawa (Hanura) menonjol dengan laporan harta Rp 1,5 miliar pada 2024. Dari PKB, Devi Dodi Diantoro mencatat Rp 1,33 miliar, Jainudin Ali Rp 1,2 miliar, dan Zulkifli Hi. Bayan Rp 835 juta. Tapi nama Junaidy Alting, juga dari PKB, justru mencolok dari sisi sebaliknya: ia hanya melaporkan Rp 77,72 juta.

Namun angka paling rendah ada di tangan Sadri Kobul dari PAN. Harta yang ia laporkan ke KPK hanya Rp 48,92 juta – jumlah yang terkesan begitu timpang ketika dibandingkan dengan koleganya yang menyentuh miliaran rupiah.

Beberapa nama lain berada di rentang menengah: Usman A. Tigedo (Perindo) Rp 1,05 miliar, sementara dari Gerindra, Rusdi A. Taher Rp 492 juta, Hasmi Ridwan Rp 854 juta, dan Nofiyanti Anwar Rp 275 juta. Dari NasDem, Helmi Kasim mencatat Rp 648 juta dan Lukman Esa Rp 594 juta. Adapun dari PDI-P, Ibrahim Layn berada di angka Rp 154,2 juta.

Gambaran ini menunjukkan kontras yang tajam: ada legislator yang kekayaannya melesat miliaran hanya dalam setahun, ada yang mandek, ada yang sederhana, bahkan ada yang sama sekali tidak tercatat.

Laporan LHKPN sejatinya bukan sekadar angka di atas kertas. Instrumen ini adalah cermin keterbukaan, akuntabilitas, dan integritas wakil rakyat. Karena itu, lonjakan drastis maupun catatan yang minim sama-sama mengundang pertanyaan publik: bagaimana perbedaan itu bisa terbentuk di antara mereka yang duduk di kursi sama, di gedung sama, dan menjalankan fungsi sama?

Pertanyaan ini mungkin tak terjawab hanya lewat angka. Tetapi yang pasti, publik berhak mengawasi pergerakan harta para legislator Halteng dari tahun ke tahun. Sebab di balik deretan digit itu, tersimpan makna besar: soal tanggung jawab, transparansi, dan sejauh mana para wakil rakyat menjaga amanah yang telah diberikan.

Pewarta:Faisal Didi 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *